Custom Search

Tuesday, July 5, 2016

Selamat berlebaran 'IDUL FITRI. Mohon maaf lahir dan bathin apabila saya ada kesalahan dan kekhilafan pada teman2 semua. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menerima amal ibadah kita.

Saturday, June 11, 2016

SEBAIKNYA SAIN


SEBAIKNYA SAIN KEDOKTERAN MERUJUK PADA AL QUR’AN

Kita telah berduka atas kepergian Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih MPH.DR.PH pada Rabu siang 2 Mei 2012 yang lalu. Duka tadi  menyisakan pertanyaan bagi kita. Rasanya pernyataan, itu sudah takdir,  terlalu naif dan syarat ironi mengingat posisi beliau sebagai seorang petinggi yang memimpin segala hal yang berkaitan dengan kesehatan di negeri ini disamping beliau sebagai salah seorang pakar bidang kesehatan. Para kampiun di bidang kesehatan dan ditopang oleh tekhnologi  mutakhir bidang kedokteran  tidak diragukan telah bekerja keras dan maksimal menolong beliau melawan kanker yang menggerogoti paru-parunya, tetapi tidak berhasil.  Banyak kasus serupa atau mirip yang diderita oleh orang awam yang tidak diexpose ke permukaan.  
Mungkin juga ada diantara kita yang yakin bahwa sain di bidang kedokteran sudah memasuki usia senja dan stagnan seperti anggapan sejumlah pihak, sehingga mandul ketika berhadapan dengan sejumlah kasus penyakit.  
Memandang manusia secara utuh
 Sain bidang kedokteran dengan para ahli/pakarnya di bidang tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apa yang dilakukan oleh para pakar tadi dalam menangani berbagai kasus penyakit yang diderita oleh pasien tidak boleh keluar dari text book sain bidang kedokteran.  Persoalannya banyak kasus penyakit di masyarakat belum ada di text book tadi, kalaupun ada penggambaran dan cara penanganannya tidak akurat.
Dasar pandangan yang dianut oleh sain kedokteran bahwa manusia adalah salah satu jasad hidup seperti makhluq hidup lainnya. Atas dasar ini sain kedokteran memandang segala aktivitas yang terjadi pada jasad manusia lebih dititik beratkan sebagai proses fisis. Kerusakan dan kelainan sel sampai ke jaringan dan organ-organ tubuh yang dibangunnya dipandang sebagai proses fisis belaka, sehingga pengobatan yang dilakukan lebih bertumpu pada pembedahan dan pemberian obat sebagai proses fisis dalam upaya memperbaiki kerusakan dan kelainan tadi. Memang tidak ada yang salah penanganan semacam ini selama penyebabnya murni fisis.   
Persoalan akan muncul ketika penyebab kerusakan atau kelainan tidak mampu dideteksi dengan peralatan kedokteran yang paling canggih sekalipun. Jadilah pakar atau dokter mendiagnosis penyakit hanya bermodalkan prediksi dari gejala yang muncul pada diri pasien. Mungkin untuk kasus sederhana yang tidak terlalu membahayakan pasien cara seperti ini tidak apa-apa dan lazim, tetapi untuk kasus berat yang menentukan hidup mati seorang pasien sangat mahal taruhannya untuk dilakukan. Cukup banyak kasus semacam ini saya temui selama menggeluti  pengobatan nonmedis tiga puluh tahun lebih.  
Satu kasus pernah saya tangani menimpa seorang gadis, mahasiswi  Perguruan Tinggi Negeri. Pasien sudah berbaring selama 24 hari di sebuah rumah sakit papan atas di Jakarta. Dia putri seorang dokter senior yang bertugas disitu. Tim dokter yang dibentuk khusus untuk menangani pasien tadi memeriksa setiap 10 menit, tapi bapaknya tidak masuk tim karena begitu aturan disitu. Diagnosis dokter menurut bapaknya, putrinya terserang typhus, tetapi diberi anti thypus selama 24 hari tidak ada perubahan apa-apa sebagai tanda kearah kesembuhan. Malah tim dokter meminta izin untuk cuci darah putrinya. Saya tanyakan padanya, apakah tidak salah mengambil tindakan medis sebelum diagnosisnya jelas dan terang. Dan saya tegaskan lagi bahwa putrinya menderita penyakit nonmedis. Pengalaman saya dalam menangani kasus nonmedis, tindakan medis yang salah seperti itu  akan sangat fatal,  pasien tidak akan tertolong jiwanya. Dokter senior tadi penasaran bercampur khawatir mendengar pertanyaan dan penegasan saya. Dia bertanya dan berdiskusi selama berjam-jam tentang dasar pemahaman saya yang mendasari pengobatan yang saya lakukan.
Saya tegaskan bahwa saya memandang manusia secara utuh seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an.  Manusia terdiri dari komponen utama yaitu, jasad, jiwa dan ruh. Ilmu kedokteran lebih fokus mempelajari jasad, sementara jiwa seperti diabaikan. Ada juga upaya sain kedokteran mempelajari jiwa manusia lewat psychology, tetapi sifatnya hanya meraba-raba melalui gejala aktivitas manusia, tetapi tidak pernah sama sekali menyentuh  jiwa sebagai materi pokok. Padahal penyakit nonmedis dan sebahagian penyakit medis disebabkan karena terjadi error pada jiwa atau bahagian jiwa manusia.
Memahami manusia sebagai makhluk hidup secara utuh bukanlah memahaminya sebagai jasad yang hidup seperti pandangan sain kedokteran, tetapi pemahaman yang mendasar bahwa didalam jasadnya ada jiwa dan ruh yang membuat dia jadi hidup, bisa beraktivitas apapun baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Jiwa yang membuat manusia merasakan sakit, nikmat, senang, gembira dan sebagainya. Apa yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh jasad, semua atas perintah dari jiwa. Kalau jiwa atau bahagian jiwa seorang anak manusia error, maka error juga perintah yang diberikannya ke jasad. Tanpa memperbaiki bahagian jiwa yang error dan menjadi penyebab penyakit pasien, tidak mungkin pasien itu sembuh.
Dokter senior tadi percaya dan yakin dengan pendapat dan pemahaman saya, dia tidak memberi izin cuci darah putrinya kemudian mengikuti konsep pengobatan yang saya paparkan. Beberapa hari kemudian putrinya sembuh total.


Mengenal jiwa manusia
Al Qur’an mengajarkan kita banyak sekali tentang jiwa manusia baik tersurat maupun tersirat. Dalam setiap jasad manusia ada satu jiwa yang terikat disitu sebagai jiwa utama atau jiwa pertama. Jiwa inilah yang pertama diciptakan oleh Allah sebelum jasad diciptakan. Jiwa pertama ini yang memerintahkan jasad sampai ke bahagian paling kecil dari jasad untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Disamping itu ada jiwa sekunder yang jumlahnya sangat banyak untuk setiap orang yang biasanya keluar  masuk jasad.   Jiwa sekunder inilah yang berinteraksi dengan jiwa sekunder makhluq lain, apakah yang kasat mata seperti manusia lain, binatang dan tumbuh-tumbuhan atau jin dan syetan yang tidak kasat mata.
Umumnya penyakit nonmedis disebabkan oleh interaksi jiwa sekunder ini dengan pihak lain, pihak lain yang menyiksanya atau membuatnya tersiksa karena berbagai sebab. Siksaan ini dirasakan oleh jiwa pertama yang melekat di jasad dan lebih ekstrim lagi jiwa pertama yang merasakan siksaan tadi memberi order yang error pada sel atau kelenjar untuk berbuat sesuatu seperti  membuat sel kanker dan tumor atau tidak berbuat sesuatu seperti tidak memproduksi atau membatasi produksinya seperti insulin pada penderita diabetes. Perintah yang error ini sangat bertentangan dengan system keimbangan atau pertahanan dalam tubuh anak manusia yang bersangkutan. Tanpa membenahi jiwa sekunder yang error tadi tidak mungkin si pasien bisa disembuhkan.
Sayangnya jiwa-jiwa sekunder ini hanya bisa dijangkau dan ditata oleh orang yang piawi menggunakan jiwa-jiwa sekunder mereka seperti orang-orang yang mendalami dan aktif dalam kegiatan olah spiritual bukan dalam pengertian klenik dan mistik atau semacamnya.
Aktivitas jiwa-jiwa sekunder terjadi di dimensi dan sub dimensi lain dari alam semesta ini. Tetapi bukan dimensi-dimensi yang diyakini keberadaannya oleh ahli fisika pada dimensi-dimensi ruang waktu lengkung dalam konsep formulasi metamatika yang tidak bisa dibayangkan  dan tidak bisa dihayalkan sama sekali. Dimensi yang saya maksud adalah suatu realitas yang hanya bisa dideteksi dan dijangkau oleh kita secara sadar maupun tidak sadar  pada tingkat kepekaan tertentu dalam merasakan  jiwa-jiwa kita sendiri dam jiwa-jiwa pihak lain.
Ada baiknya para pakar atau ilmuwan di bidang kedokteran membuka diri dalam penelitian tentang jiwa manusia ini, bukan dalam hal perdukunan, mistik atau klenik, tetapi suatu ilmu jiwa terapan yang akurat berpijak pada pengajaran Al Qur’an dan fakta empiris yang valid dan begitu banyak. Kita berharap apabila dasar pemahaman yang akurat tentang jiwa disusun menjadi suatu standar baku dalam penanganan kasus nonmedis, maka akan lebih banyak kasus penyakit yang masih gelap dan jadi misteri selama ini bisa disingkap, tanpa hanya bisa berkilah dengan kata takdir dalam  menyikapi kematian seorang pasien.


Jatiasih, 8 Juni 2012

TOP SELLING BUKU TERAPI ALIF 
T

Thursday, May 14, 2015

BUKU KETIGA DIJUAL ONLINE
Saya belum punya rencana untuk menjual di toko buku, buku saya yang ketiga, saya jual online. Bila berminat, silahkan kirim nama dan alamat ke bukuterapialif@gmail.com  Kalau bukunya sudah ada insyaAllah akan dikabari lewat email. Buku yang dibeli langsung dari saya akan saya tanda-tangani.


TOP SELLING BUKU TERAPI ALIF

Wednesday, May 13, 2015


BUKU KETIGA SUDAH SIAP CETAK

Alhamdulillah, saat ini persiapan untuk naik cetak sudah rampung, semuanya lancar, tinggal memutuskan percetakan mana yang dipilih. Hari ini saya keliling lagi menengok percetakan2 untuk mendapatkan yang paling cocok, saya menginginkan buku saya yang ketiga ini buku yang bagus dan menarik baik dari penampilan/perwajahan maupun dari sisi isi kandungannya. Kalau tidak ada halangn yang berarti itu tandanya Rabbku mengijinkan untuk diterbitkan.
Alhamdulillah, Rabbku senantiasa menolong dan membimbing saya dalam menulis buku sehingga untuk menerbitkan sendiri buku baik yang kewtiga ini maupun yang akan datang saya tidak butuh editor. Ini sudah teruji dengan dua buku saya sebelumnya MENDIAGNOSIS PENYAKIT NONMEDIS dan SEMBUH SEKETIKA BUKAN MUKJIZAT ATAU KEAJAIBAN. Awalnya sebelum saya menyerahkan naskah buku, pihak Penerbit PT ELEX MEDIA KOMPUTINDO menegaskan bahwa sebelum naskah diterima untuk dicetak minimal tiga kali bolak-balik antara saya dan penerbit untuk koreksi dan perbaikan. Alhamdulillah dua naskah buku saya tidak mengalami koreksi apapun, karena mereka bingung mencari apa yang bisa dikoreksi. Jadi naskah dua buku saya tadi, begitu dikirim adalah naskah jadi, naskah final buat mereka karena saya sudah mengedit sendiri dan sangat teliti menurut kemampuan saya. Maha Suci Allah Ta'ala Rabbku Yang Maha Belas Kasih. 

TOP SELLING BUKU TERAPI ALIF

Tuesday, May 12, 2015

JH Alifulhaq, Buku ketiga saya,MEMBURU IBLIS SAMPAI KE SARANGNYA insyaAllah dalam waktu sekitar sebulan sudah dicetak. Yang mau pesan, silahkan kirim nama dan alamat lengkap ke
bukuterapialif@gmail.com



TOP SELLING BUKU TERAPI ALIF

Sunday, October 7, 2012

SEBAIKNYA SAIN KEDOKTERAN MERUJUK KEPADA AL QUR'AN



Kita telah berduka atas kepergian Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih MPH.DR.PH pada Rabu siang 2 Mei 2012 yang lalu. Duka tadi  menyisakan pertanyaan bagi kita. Rasanya pernyataan, itu sudah takdir,  terlalu naif dan syarat ironi mengingat posisi beliau sebagai seorang petinggi yang memimpin segala hal yang berkaitan dengan kesehatan di negeri ini disamping beliau sebagai salah seorang pakar bidang kesehatan. Para kampiun di bidang kesehatan dan ditopang oleh tekhnologi  mutakhir bidang kedokteran  tidak diragukan telah bekerja keras dan maksimal menolong beliau melawan kanker yang menggerogoti paru-parunya, tetapi tidak berhasil.  Banyak kasus serupa atau mirip yang diderita oleh orang awam yang tidak diexpose ke permukaan.  
Mungkin juga ada diantara kita yang yakin bahwa sain di bidang kedokteran sudah memasuki usia senja dan stagnan seperti anggapan sejumlah pihak, sehingga mandul ketika berhadapan dengan sejumlah kasus penyakit.  
Memandang manusia secara utuh
 Sain bidang kedokteran dengan para ahli/pakarnya di bidang tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apa yang dilakukan oleh para pakar tadi dalam menangani berbagai kasus penyakit yang diderita oleh pasien tidak boleh keluar dari text book sain bidang kedokteran.  Persoalannya banyak kasus penyakit di masyarakat belum ada di text book tadi, kalaupun ada penggambaran dan cara penanganannya tidak akurat.
Dasar pandangan yang dianut oleh sain kedokteran bahwa manusia adalah salah satu jasad hidup seperti makhluq hidup lainnya. Atas dasar ini sain kedokteran memandang segala aktivitas yang terjadi pada jasad manusia lebih dititik beratkan sebagai proses fisis. Kerusakan dan kelainan sel sampai ke jaringan dan organ-organ tubuh yang dibangunnya dipandang sebagai proses fisis belaka, sehingga pengobatan yang dilakukan lebih bertumpu pada pembedahan dan pemberian obat sebagai proses fisis dalam upaya memperbaiki kerusakan dan kelainan tadi. Memang tidak ada yang salah penanganan semacam ini selama penyebabnya murni fisis.   
Persoalan akan muncul ketika penyebab kerusakan atau kelainan tidak mampu dideteksi dengan peralatan kedokteran yang paling canggih sekalipun. Jadilah pakar atau dokter mendiagnosis penyakit hanya bermodalkan prediksi dari gejala yang muncul pada diri pasien. Mungkin untuk kasus sederhana yang tidak terlalu membahayakan pasien cara seperti ini tidak apa-apa dan lazim, tetapi untuk kasus berat yang menentukan hidup mati seorang pasien sangat mahal taruhannya untuk dilakukan. Cukup banyak kasus semacam ini saya temui selama menggeluti  pengobatan nonmedis tiga puluh tahun lebih.  
Satu kasus pernah saya tangani menimpa seorang gadis, mahasiswi  Perguruan Tinggi Negeri. Pasien sudah berbaring selama 24 hari di sebuah rumah sakit papan atas di Jakarta. Dia putri seorang dokter senior yang bertugas disitu. Tim dokter yang dibentuk khusus untuk menangani pasien tadi memeriksa setiap 10 menit, tapi bapaknya tidak masuk tim karena begitu aturan disitu. Diagnosis dokter menurut bapaknya, putrinya terserang typhus, tetapi diberi anti thypus selama 24 hari tidak ada perubahan apa-apa sebagai tanda kearah kesembuhan. Malah tim dokter meminta izin untuk cuci darah putrinya. Saya tanyakan padanya, apakah tidak salah mengambil tindakan medis sebelum diagnosisnya jelas dan terang. Dan saya tegaskan lagi bahwa putrinya menderita penyakit nonmedis. Pengalaman saya dalam menangani kasus nonmedis, tindakan medis yang salah seperti itu  akan sangat fatal,  pasien tidak akan tertolong jiwanya. Dokter senior tadi penasaran bercampur khawatir mendengar pertanyaan dan penegasan saya. Dia bertanya dan berdiskusi selama berjam-jam tentang dasar pemahaman saya yang mendasari pengobatan yang saya lakukan.
Saya tegaskan bahwa saya memandang manusia secara utuh seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an.  Manusia terdiri dari komponen utama yaitu, jasad, jiwa dan ruh. Ilmu kedokteran lebih fokus mempelajari jasad, sementara jiwa seperti diabaikan. Ada juga upaya sain kedokteran mempelajari jiwa manusia lewat psychology, tetapi sifatnya hanya meraba-raba melalui gejala aktivitas manusia, tetapi tidak pernah sama sekali menyentuh  jiwa sebagai materi pokok. Padahal penyakit nonmedis dan sebahagian penyakit medis disebabkan karena terjadi error pada jiwa atau bahagian jiwa manusia.
Memahami manusia sebagai makhluk hidup secara utuh bukanlah memahaminya sebagai jasad yang hidup seperti pandangan sain kedokteran, tetapi pemahaman yang mendasar bahwa didalam jasadnya ada jiwa dan ruh yang membuat dia jadi hidup, bisa beraktivitas apapun baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Jiwa yang membuat manusia merasakan sakit, nikmat, senang, gembira dan sebagainya. Apa yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh jasad, semua atas perintah dari jiwa. Kalau jiwa atau bahagian jiwa seorang anak manusia error, maka error juga perintah yang diberikannya ke jasad. Tanpa memperbaiki bahagian jiwa yang error dan menjadi penyebab penyakit pasien, tidak mungkin pasien itu sembuh.
Dokter senior tadi percaya dan yakin dengan pendapat dan pemahaman saya, dia tidak memberi izin cuci darah putrinya kemudian mengikuti konsep pengobatan yang saya paparkan. Beberapa hari kemudian putrinya sembuh total.


Mengenal jiwa manusia
Al Qur’an mengajarkan kita banyak sekali tentang jiwa manusia baik tersurat maupun tersirat. Dalam setiap jasad manusia ada satu jiwa yang terikat disitu sebagai jiwa utama atau jiwa pertama. Jiwa inilah yang pertama diciptakan oleh Allah sebelum jasad diciptakan. Jiwa pertama ini yang memerintahkan jasad sampai ke bahagian paling kecil dari jasad untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Disamping itu ada jiwa sekunder yang jumlahnya sangat banyak untuk setiap orang yang biasanya keluar  masuk jasad.   Jiwa sekunder inilah yang berinteraksi dengan jiwa sekunder makhluq lain, apakah yang kasat mata seperti manusia lain, binatang dan tumbuh-tumbuhan atau jin dan syetan yang tidak kasat mata.
Umumnya penyakit nonmedis disebabkan oleh interaksi jiwa sekunder ini dengan pihak lain, pihak lain yang menyiksanya atau membuatnya tersiksa karena berbagai sebab. Siksaan ini dirasakan oleh jiwa pertama yang melekat di jasad dan lebih ekstrim lagi jiwa pertama yang merasakan siksaan tadi memberi order yang error pada sel atau kelenjar untuk berbuat sesuatu seperti  membuat sel kanker dan tumor atau tidak berbuat sesuatu seperti tidak memproduksi atau membatasi produksinya seperti insulin pada penderita diabetes. Perintah yang error ini sangat bertentangan dengan system keimbangan atau pertahanan dalam tubuh anak manusia yang bersangkutan. Tanpa membenahi jiwa sekunder yang error tadi tidak mungkin si pasien bisa disembuhkan.
Sayangnya jiwa-jiwa sekunder ini hanya bisa dijangkau dan ditata oleh orang yang piawi menggunakan jiwa-jiwa sekunder mereka seperti orang-orang yang mendalami dan aktif dalam kegiatan olah spiritual bukan dalam pengertian klenik dan mistik atau semacamnya.
Aktivitas jiwa-jiwa sekunder terjadi di dimensi dan sub dimensi lain dari alam semesta ini. Tetapi bukan dimensi-dimensi yang diyakini keberadaannya oleh ahli fisika pada dimensi-dimensi ruang waktu lengkung dalam konsep formulasi metamatika yang tidak bisa dibayangkan  dan tidak bisa dihayalkan sama sekali. Dimensi yang saya maksud adalah suatu realitas yang hanya bisa dideteksi dan dijangkau oleh kita secara sadar maupun tidak sadar  pada tingkat kepekaan tertentu dalam merasakan  jiwa-jiwa kita sendiri dam jiwa-jiwa pihak lain.
Ada baiknya para pakar atau ilmuwan di bidang kedokteran membuka diri dalam penelitian tentang jiwa manusia ini, bukan dalam hal perdukunan, mistik atau klenik, tetapi suatu ilmu jiwa terapan yang akurat berpijak pada pengajaran Al Qur’an dan fakta empiris yang valid dan begitu banyak. Kita berharap apabila dasar pemahaman yang akurat tentang jiwa disusun menjadi suatu standar baku dalam penanganan kasus nonmedis, maka akan lebih banyak kasus penyakit yang masih gelap dan jadi misteri selama ini bisa disingkap, tanpa hanya bisa berkilah dengan kata takdir dalam  menyikapi kematian seorang pasien.


Jatiasih, 8 Juni 2012,